Sabtu, 06 Desember 2008

There Are No Heroes if There Are No Villains

High school is a real tough time for everyone. Apakah itu benar? Kau pasti akan kesulitan menjawabnya. Setidaknya, bagi Fara Fizkadharta, sekolah menengah bukan masa lalu yang buruk. Untuk seorang Fara Fizkadharta, tak ada hal yang terlalu sulit baginya. Menjadi anak perempuan kesayangan kedua orangtuanya, siswi favorit di sekolah, dan akhirnya menjadi ibu yang hebat adalah secuil dari sekian banyak kelebihannya.
But humans are perfect because of their imperfection. Saat masih muda, ia juga pernah membuat kesalahan. Ia pernah menginjakkan kaki ke night club, and it wasn’t a great experience. Namun berkat segala kelebihannya, Fara berhasil menutupi itu semua dengan imajinya sebagai gadis baik-baik. “Kau anak yang baik. Dan meskipun kau melakukan kesalahan, aku yakin kau akan selalu menjadi anak yang sempurna,” ujar Hanna, ibu Fara.
Namanya Satrio Hasthawardhana. Ia delapan tahun lebih tua dibandingkan Fara, dan ia sangat mengagumi Fara. Fara masih seorang pegawai di sebuah event organizer, dan ia tak menyangka bahwa seorang dokter mau mengikutinya kemanapun ia melangkah. “Anda ini siapa? Apakah Anda butuh jasa menyiapkan acara?” tanya Fara. “Tidak, namun saya rasa saya pernah bertemu Anda,…” Ia memandangi nametag si penanya. “… Fara, bukan? Apakah Anda pernah berobat ke Rumah Sakit Internasional Almasdhia? Saya dokter disana, Satrio Hasthawardhana.” Dan perkenalan mereka berlanjut. Enam bulan setelah berkenalan, mereka menikah.
And like everyone in the world, this lady has a secret. A sacred secret. Tak pernah ada pahlawan bila para penjahat tidak tercipta. Dan hanya Fara seorang yang mengetahui rahasia besarnya. Ia bukan manusia sempurna, bagaimanapun ia seorang perempuan biasa yang memiliki kekurangan. Fara—bagaimanapun ia bersifat dewasa—mengakui bahwa ia kecewa saat adiknya, Julica, terlibat tawuran di SMA. Namun ia tetap berusaha tenang dan menjaga karismanya. Namun bukan ini yang akan menjadi rumpun masalah kita tentang Fara.
Adalah Carmen Safirania, seorang perempuan yang sangat Fara senangi. Ia sahabat baik Fara semenjak mereka memulai kuliah di perguruan tinggi negeri ternama. Tak hanya ia yang menyukai Carmen, kakak Fara, Arta, juga menyukai dan mengagumi Carmen. Mereka bertemu setelah Arta bekerja di luar negeri selama Lima bulan setelah berkenalan, mereka menikah saat usia Carmen 23 tahun dan Arta 30 tahun. Pernikahan mereka berselang dua bulan dengan pernikahan Fara dan Satrio. Arta dan Carmen-lah rahasia Fara.
“Ma, aku berangkat bareng Kak Vian ama Kerry, ya!” seru Sophie. Sophie adalah anak kedua Fara. Fara mengangguk. Ia memerhatikan kepergian ketiga anaknya yang perlahan menghilang dengan mobil Vian.
Dan itulah rahasia Fara.
“Terlalu tragis,” ucap Raka Sudiro, polisi itu. Fara dan Athaya mengangguk pelan.
Dua bayi itu hanya tertidur pulas. Mereka tak tahu menahu bahwa kedua orangtuanya sudah meninggal. Tak sekedar meninggal, tetapi terbunuh. “Pembunuhan berantai bagi mereka dengan anak kembar”, begitulah orang-orang menyebutnya. Beruntung, si kembar Carissa dan Sophia selamat dari cengkeraman si pembunuh.
“Bagaimana nasib mereka nanti?” tanya Fara. “Panti asuhan mungkin jalan terbaik. Apalagi identitas mereka sebagai anak Bapak dan Ibu Fizkadharta dapat membahayakan nyawa mereka sendiri,” kata Raka Sudiro lagi.
Fara terdiam. Baru saja enam jam yang lalu anaknya, Dominique, meninggal dan dimakamkan tanpa kehadiran ayahnya. Padahal usianya baru lima hari. Kelainan jantung yang ia miliki mengakibatkan kematiannya di saat operasi bedah jantung. Satrio dan keluarga besarnya tak tahu menahu akan kelahiran dan kematian Dominique, sebab Fara tak sempat memberitahu keluarga Satrio di Surabaya, sementara Satrio sendiri sedang dinas ke New York, USA.
Tiba-tiba, terlintas sebuah ide di benak Fara.

Tidak ada komentar: